Want to create interactive content? It’s easy in Genially!

Get started free

ANIMATED CHALKBOARD PRESENTATION

MILA NUR ANISA

Created on April 3, 2023

Start designing with a free template

Discover more than 1500 professional designs like these:

Memories Presentation

Pechakucha Presentation

Decades Presentation

Color and Shapes Presentation

Historical Presentation

To the Moon Presentation

Projection Presentation

Transcript

tari cincowong

Presentation

Start

XI MIPA 6

1- ELDA

3- MILA

2- FAZLE

kelompok cincowong

4- M.ZIDAN

5- RIZKYA

6- WILDATUL

SEJARAH TARI CINCOWONG

SEJARAH

Cingcowong merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Desa Luragung Landeuh. Cingcowong berasal dari kata cing dan cowong. Kata cing dalam Kamus Bahasa Indonesia-Sunda, Sunda-Indonesia memiliki arti yang sama dari kata cik, yang berarti coba dalam bahasa Indonesia. Kata cowong dalam bahasa Indonesia berarti biasa berbicara keras. Jadi dari segi bahasa Cingcowong memiliki arti biasa berbicara keras.

Cingcowong berasal dari kata “cing” yang berarti “teguh” (dalam bahasa Indonesia artinya ‘terka’) dan “cowong” merupakan kependekan dari kata “wong” yang dalam bahasa Jawa berarti ‘orang’. Maka dengan demikian jika disatukan kata “cingcowong” tersebut memiliki arti: ” coba terka siapa orang ini”. Mengapa dinamakan demikian? karena bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat Desa Luragung merupakan campuran antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda karena desa ini merupakan desa terujung di Kabupaten Kuningan yang berbatasan dengan kabupaten Brebes di Jawa Tengah.

02

LATAR BELAKANG TARI CINCOWONG

LATAR BELAKANG

Peristiwa yang melatarbelakangi diselenggarakannya tari cincowong atau upacara ini adalah terjadinya kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan sehingga berdampak kepada penghasilan masyarakat yang mayoritas adalah petani. Hal ini sesuai dengan cerita yang dituturkan Nawita dan cerita lisan masyarakat Luragung pada umumnya bahwa kehadiran Cingcowong disebabkan oleh suatu keadaan yang mendesak dan darurat. Pada masa lalu di daerah Luragung terjadi kemarau yang panjang sehingga para petani menjadi resah. Sawah dan ladang para petani banyak yang gagal panen akibat dilanda kekeringan.

Pada situasi sulit tersebut, Rantasih yang merupakan leluhur Nawita mengajak kepada masyarakat sekitar untuk berusaha mengatasi keadaan yang dialami. Ia kemudian mengajak masyarakat untuk mencari sumber mata air, tetapi usahanya gagal karena masyarakat yang sudah terlanjur putus asa tidak bersedia memenuhi ajakannya. Dalam keadaan demikian Rantasih tidak berputus asa, ia tetap berupaya agar masyarakat mau mengikuti ajakannya, ia mempunyai keyakinan bahwa hujan akan cepat turun.

Pada saat Rantasih mengalami kesulitan mengumpulkan masyarakat untuk bersama-sama berdoa, muncul gagasan untuk memukul ceneng berulang kali hingga masyarakat berkumpul. Upaya tersebut ternyata cukup berhasil, ia kemudian menyampaikan petunjuk yang datang pada saat tirakat, yaitu dengan cara tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur selama tiga hari tiga malam, bahwa cara meminta hujan adalah dengan melakukan upacara ritual melalui media cingcowong.

03

FUNGSI TARI CINCOWONG

FUNGSI

Menurut Kusnadi, Cingcowong adalah seni ritual untuk meminta hujan dengan media jejelmaan atau orang-orangan perempuan berwajah cantik dan cara untuk memanggil roh-roh (gaibnya) dengan alat pengiring buyung yang terbuat dari tanah liat (sebagai kendang) dan ceneng (bokor) sebagai ketuk. Keberadaan Cingcowong memiliki hubungan erat dengan kebutuhan dan ketergantungan manusia terhadap alam, yaitu kebutuhan manusia akan air sebagai sumber penghidupan. Pada intinya tradisi ini ditujukan untuk memohon kepada Tuhan yang Maha Esa, supaya segera diturunkan hujan ketika terjadi kemarau berkepanjangan.

MAKNA TARI CINCOWONG

MAKNA

Makna dari tari cingcowong ini sebagai bentuk rasa ucapan syukur masyarakat Luragung kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bentuk ikhtiar

05

UNSUR TARI CINCOWONG

unsur unsur

Ritual Cingcowong dipimpin oleh seorang yang dinamakan punduh. Punduh adalah orang yang dianggap memiliki kemampuan khusus di bidang spiritual atau kepercayaan setempat yang diperolehnya karena inisiatif sendiri, dan dianggap memiliki kecakapan khusus untuk berhubungan dengan makhluk dan kekuatan supernatural. Untuk kelancaran ritual, seorang punduh dibantu oleh orang yang bertugas untuk memegang boneka cingcowong, dan memainkan dua alat musik utama yaitu buyung dan bokor. Ada juga sinden yang bertugas melantukan lagu-lagu tertentu untuk mengiringi boneka cingcowong menari.

Pertunjukan Cingcowong dipagelarkan oleh 6 orang yang memiliki tugas masing-masing, diantaranya: Punduh Ibu Nawita, beliau adalah satu-satunya punduh (kuncen) Cingcowong di Kabupaten Kuningan, Punduh merupakan pemimpin upacara Cingcowong yang dengan kemampuannya dipercaya masyarakat setempat dapat mendatangkan hujan melalui perantara boneka Cingcowong. Pembantu punduh yaitu Hj. Itit dan Nining Waskini mereka bertugas membantu punduh Nawita dalam memegang boneka cingcowong. Ibu warsinah memainkan alat musik berupa ‘buyung’, yang biasa dipakai sebagai alat penyimpan air terbuat dari tanah liat. Ibu Kaseh memainkan alat musik berupa ‘bokor’ atau ‘ceneng’ yang biasa dipakai sebagai vas bunga terbuat dari bahan tembaga/kuningan. Ibu Wartinah berperan sebagai Sinden.

Perlengkapan tari cincowong

1. TARAJE Taraje atau tangga yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk membawa atau menyambut turunya arwah lelembut atau dalam peribahasa untuk menyambut turunnya bidadari

Perlengkapan tari cincowong

2. SAMAK Samak atau tikar yang terbuat dari anyaman pandan, yang berfungsi sebagai alas tempat duduk pagelaran tersebut

3. SISIR Sisir dipergunakan untuk menata rambut boneka Cingcowong pada saat upacara berlangsung

Perlengkapan tari cincowong

4. CERMIN Cermin yang difungsikan sebagai alat bagi punduh untuk memperlihatkan bentuk dan raut wajah boneka Cingcowong kepada para bidadari yang akan memasuki tubuh boneka Cingcowong

5. BUNGA KAMBOJA Bunga kamboja yang dicampur dengan air yang dipergunakan sebagai saweran pada sesi terakhir upacara Cingcowong. Saweran bunga kamboja dengan air ini ditujukan sebagai media pemancin g turunnya hujan

Perlengkapan tari cincowong

6. BONEKA CINCOWONG Boneka Cingcowong yang terbuat dari batok kelapa yang dilukis menjadi Putri cantik dengan badan terbuat dari rangkaian bambu yang diberi baju dan sampur (selendang) serta diberi kalung yang terbuat dari bunga kamboja

Video 2

Alat musik pada pagelaran cincowong

3.HIHID (KIPAS)

1.JAMBANGAN

TERBUAT DARI TANAH LIAT UNTUK PENGATUR IRAMA YANG DIPUKUL DENGAN KIPAS YANG TEBUAT DARI ANYAMAN BAMBU

DIPERGUNAKAN UNTUK MEMUKUL CENENG KUNINGAN UNTUK MENGIRINGI IRAMA BUYUNG

TERBUAT DARI ANCAMAN BAMBU YANG DIPERGUNAKAN UNTUK MEMBERIKAN EFEK SUARA PADA BUYUNG

TERBUAT DARI KUNINGAN ( BOKOR ATAU CENENG )

4.RUAS BAMBU

2.TEMPAYAN (BUYUNG)

Tahapan persiapan yang harus dilakukan oleh seorang punduh sebelum dilaksanakannya upacara cincowong

1.

boneka didandani dengan cara mendandani dan memoles kembali boneka dan mengenakan rarangken atau asesoris berupa kalung yang terbuat dari untaian bunga kemboja serta mengenakan baju model kebaya warna kuning dan melilitkan sabuk dari kain katun warna putih, juga mengenakan anting-anting di bagian telinganya.

2.

mempersiapkan aneka sesajen yang terdiri dari: parukuyan lengkap dengan kemenyan, telur asin, tumpeng kecil atau biasa disebut congcot, cerutu, gula batu aneka penganan kue, kembang rampe tujuh warna, dan lain-lain seperti yang sudah dikemukakan di atas.

membawa boneka Cingcowong dan aneka sesajen ke parit (comberan) terdekat dan menyimpannya di tepi comberan tersebut selama satu malam. Dengan mengucapkan sejumlah mantra-mantra untuk memanggil belis (jurig) jarian dan belis (jurig) comberan, di dalam comberan tersebut punduh kemudian meminta para halus tersebut untuk masuk ke dalam boneka

3.

menyediakan peralatan yang akan digunakan pada waktu upacara, seperti: taraje (tangga yang terbuat dari bambu), tikar, ember berisi air bunga rampai tujuh macam, kaca atau cermin kecil, sisir dan kemenyan beserta anglo untuk membakar kemenyan tesebut. Seluruh peralatan ini kemudian dikumpulkan di tempat yang aman di dalam rumah. Nawita melakukan puasa selama tiga hari atau minimal satu hari sebelum upacara dilaksanakan

4.

Tahap Pelaksanaan Upacara Cingcowong

Adapun lagu Cingcowong sebagai berikut . Cingcowong-cingcowong Bil guna bil lembayu Shalala lala lenggut Lenggute anggedani Aya panganten anyar Aya panganten anyar Lili lili pring Denok simpring ngaliro Mas borojol gedog Mas borojol gedog Lilir guling gulinge sukma katon Gelang-gelang layone Layoni putra maukung Maukung mangundang dewa Anging Dewa anging sukma Bidadari lagi teka Bidadari lagi teka Jak rujak ranti kami junjang kami loko Pajulo-julo temu bumiring mandiloko

Para penabuh alat memainkan alatnya yaitu ibu Warsinah memukul-mukul buyungnya dengan menggunakan hihid atau kipas yang terbuat dari anyaman bambu, dan ibu Kaseh memukul-mukul bokor dengan menggunakan dua buah ruas kayu sepanjang masing-masing 40 cm, mengiringi sinden yang bernyanyi.

Di tengah ruangan Nawita memangku boneka masuk arena dan berjalan diantara anak taraje diikuti oleh Itit dan Waskini secara beriringan dari ujung awal sampai ujung akhir taraje bolak balik selama tiga kali. Kemudian Nawita duduk ditengah-tengah tangga sambil tetap memangku boneka. wajah boneka Cingcowong diperlihatkan ke arah cermin kecil yang dipegangi oleh Waskini yang duduk menghadapi boneka sambil memegangi sabuk yang dikenakan boneka. Setelah selesai memperlihatkan muka boneka melalui kaca, selanjutnya Nawita memegang sisir yang digerakkan di atas kepala boneka seolah-olah sedang menyisiri rambut. Di sampingnya duduk Itit sambil ikut memegangi sabuk yang dikenakan boneka karena boneka sudah mulai bergerak mengikuti alunan lagu, semakin lama boneka semakin bergerak ke arah kanan, kiri dan ke depan seperti tidak terkendali, tetapi tetap dipegang oleh ketiga orang tersebut. Boneka Cingcowong ini mulai bergerak setelah kalimat terakhir dari lagu tersebut diucapkan.

Boneka ini selain bergerak bisa juga mengejar penonton yang tidak percaya bahwa Cingcowong tersebut telah dirasuki arwah lelembut, bahkan bisa juga mengejar-ngejar karena suka pada seseorang dan pada orang-orang yang mengolok-oloknya dengan kata-kata: “Cingcowong cingcowong, hulu canting awak bubu”(Cingcowong cingcowong kepala canting badan bubu). Kemudian air dan bunga kemboja yang telah dipersiapkan dalam wadah diciprat-cipratkan kepada para penonton sambil mengucapkan kata-kata : Hujan… Hujan… Hujan…

Dalam proses perkembangan saat ini, tradisi cingcowong telah mengalami modifikasi bentuk dari ritual sebagai mekanisme memanggil hujan, menjadi tarian sebagai seni hiburan rakyat. Kondisi ini terjadi manakala sebagian masyarakat mulai menyadari bahwa diperlukan adanya pelestarian kebudayaan melalui media seni tari dalam rangka menyelamatkan tradisi cingcowong yang hampir punah. Maka dibuatlah seni tari cingcowong, sebagai bentuk pemenuhan keinginan masyarakat yang sudah banyak mengalami proses perubahan sosial saat ini.

06

pesan dari tari cincowong

Pesan

sebagai sebuah simbolisasi dari kedirian manusia yang adakalanya tidak berdaya menghadapi kekuasaan alam. Air sebagai sebuah kebutuhan dasar dan pokok manusia perlu senantiasa dipenuhi setiap hari, namun ketika persediaan air semakin menipis, mengakibatkan terganggunya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, seperti untuk makan, minum dan mencuci. Di sisi lain, kebutuhan pengairan lahan pertanian juga berkurang sehingga mengakibatkan kekeringan pada tanaman yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan panen, selain itu sebagai seni ritual untuk meminta hujan dengan media jejelmaan atau orang-orangan perempuan berwajah cantik dan cara untuk memanggil roh-roh (gaibnya) dengan alat pengiring buyung yang terbuat dari tanah liat (sebagai kendang) dan ceneng (bokor) sebagai ketuk

terimakasih